Defisit APBN dalam Pembangunan Infrastruktur? Pemerintah Harus Apa?

Defisit APBN dalam Pembangunan Infrastruktur? Pemerintah Harus Apa?

Pemerintah saat ini sedang gencar dalam melakukan pembangunan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur yang memadai sangat penting dalam rangka mendorong penanaman modal dan memacu pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan target pemerintah. Dengan adanya infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandar udara, kereta api dan infrastruktur di bidang energi, listrik dan telekomunikasi, diharapkan mampu mendukung sektor-sektor lainnya seperti sektor pariwisata. Pemerintah juga terus mengambil langkah-langkah perbaikan pada regulasi guna mendukung pembangunan infrastruktur.

Namun dalam semangat membangun tersebut terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh Pemerintah. Salah satu Kendala Pemerintah dalam membangun infrastruktur adalah masalah pembiayaan. Masalah pembiayaan infrastruktur tersebut terjadi karena adanya financing gap antara dana yang dapat disediakan Pemerintah dan kebutuhan dana untuk penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan. Kesenjangan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur disebabkan oleh potensi pembiayaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terbatas. Contohnya saja infrasturuktur guna mendukung pariwisata indonesia yang pendanaanya tidak akan cukup jika hanya mengandalkan dana dari APBN. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020 – 2024, Pemerintah telah menetapkan sasaran investasi infrastruktur strategis sebesar Rp 6.200 triliun. Dari total kebutuhan tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah hanya mampu memenuhi sekitar 60%.

Dengan kondisi demikian pemerintah perlu mencari solusi atas persoalan tersebut dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait dalam pembangunan infrastruktur, misalnya pihak swasta atau badan usaha. Dengan keterlibatan dari berbagai pihak ini maka akan membantu pemerintah dalam mengatasi keterbatasan dana untuk pembangunan infrastruktur terkait sehingga dirasa perlu adanya keterlibatan dari swasta/badan usaha. Bentuk kerjasama yang melibatkan pihak swasta ini disebut sebagai Public Private Partnership (PPP) atau dikenal juga dengan sebutan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

Menurut Perpres Nomor 38 Tahun 2015, KPBU didefinisikan sebagai kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur bertujuan untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/BUMN/BUMD, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Dengan adanya sistem pembiayaan KPBU tersebut diharapkan dapat meringankan beban APBN dan membuka peluang bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan infrastruktur guna mendukung sektor-sektor yang ada di Indonesia.

Dengan diberlakukannya skema KPBU pada pengadaan infrastruktur ini tentunya akan memberikan manfaat seperti terdapat efisiensi pembiayaan pembangunan karena pembangunan proyek dilakukan melalui kerjasama pemerintah dengan swasta dan terdapatnya transfer kemampuan dan pengetahuan dari Swasta sehingga kedepannya menghasilkan pengelolaan infrastruktur dengan kualitas yang baik.

Di samping kelebihan dan manfaat yang ada, skema KPBU pada pengadaan infrastruktur ini juga memiliki tantangan dalam pelaksanaanya terutama karena proyek infrastruktur memiliki karakteristik berisiko tinggi, jangka panjang, dan margin terbatas sehingga swasta enggan masuk ke pembiayaan proyek infrastruktur nasional. Selain itu dalam realisasi proyek infrastruktur dengan skema KPBU ternyata dirasa kapasitas Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) masih kurang dalam mempersiapkan proyek kerjasama dan banyaknya perizinan yang harus dipenuhi dari berbagai instansi yang terkait. Hal ini merupakan contoh faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya realisasi proyek dengan skema KPBU. Selain itu kurangnya pemahaman pemerintah dan pihak swasta terhadap skema KPBU juga berpotensi menghambat pelaksanaan skema KPBU dalam pembiayaan Infrastruktur.

Berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang dijelaskan, skema KPBU dapat menjadi solusi dalam pengadaan infrastruktur ini. Dimana dalam hal pembiayaan konstruksi dilakukan oleh pihak pemerintah dan swasta sedangkan pembiayaan operasi dan pemeliharaan dilakukan oleh swasta. Hal ini dapat dilakukan dengan syarat proyek yang dikerjasamakan harus layak secara ekonomi dan finansial marjinal. Pemerintah disini juga bertugas dalam menyusun standar performance dan menyediakan lahan pembangunan. Pihak swasta bertugas untuk membiayai sebagian besar modal pembangunan infrastruktur dan berhak untuk mengoperaasikan infrastruktur tersebut. Umumnya waktu kerjasama dengan skema ini adalah 10-20 tahun.

Ketika skema KPBU ini dipilih terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu kerjasama yang dilakukan dalam mengadakan pembangunan tersebut harus diikat dengan perjanjian dan memperhatikan risiko diantara kedua pihak sehingga kerjasama ini bisa saling menguntungkan antar pihak swasta maupun pemerintah. Selain itu juga, Pemerintah maupun swasta harus memahami skema KPBU ini agar memiliki pandangan yang sama terhadap skema tersebut. Pemerintah juga bisa mengeluarkan regulasi-regulasi untuk mengatasi kendala-kendala yang mungkin muncul terkait dengan pelaksanaan skema KPBU. Sehingga pada akhirnya skema KPBU dalam pengadaan infrastruktur ini dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang dituliskan pada Perpres Nomor 38 Tahun 2015 dan kedepannya dapat menjadi jawaban atas masalah pembiayaan dalam pembangunan infrastruktur yang digencarkan pemerintah guna mempercepat pertumbuhan sektor-sektor yang ada di Indonesia.

Tinggalkan Balasan