Memproyeksi Peluang Industri Biofarmaka Nasional

Memproyeksi Peluang Industri Biofarmaka Nasional

Pandemi COVID-19 memang telah menimbulkan beberapa perubahan yang cukup signifikan di dalam kehidupan masyarakat. Beberapa industri harus memikirkan strategi yang tepat agar dapat bertahan di tengah ketidakpastian selama pandemi. Kondisi pandemi seperti saat ini dapat diarahkan dengan meningkatkan potensi pengembangan industri jamu dan obat tradisional (biofarmaka) ke pasar nasional hingga global. Indonesia merupakan salah satu tempat sumber bahan herbal terbesar di dunia, tetapi pasar biofarmaka Indonesia berada di peringkat ke-18 dengan menyumbang 0,62 persen dari nilai perdagangan biofarmaka global. Sementara itu, pasar biofarmaka masih didominasi oleh India, Tiongkok, dan Belanda.

Dalam Webinar dengan tema Jamu Modern untuk Pasar Indonesia, Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Eropa pada (15/9), Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan bahwa industri jamu (biofarmaka) memiliki peluang yang sangat besar bagi masa depan ekspor Indonesia. Adanya disrupsi selama pandemi membuat konsumsi masyarakat berubah, baik Indonesia maupun global, menjadi sadar akan kesehatan.

Menurut Mendag, industri jamu memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi di masa mendatang karena dapat membentuk lebih dari tiga juta lapangan pekerjaan baru. Dengan pertumbuhan lebih dari 6 persen dan 90 persen bahan baku dari dalam negeri, tentu saja akan memberikan multiplier effect dari hulu hingga hilir. Tentu saja, peluang ini bukanlah sekedar proyeksi semata karena industri biofarmaka berhasil tumbuh 8,65 persen pada kuartal II 2020. Dari segi perdagangan, beberapa strategi harus diterapkan dan dimanfaatkan, diantaranya adalah optimalisasi dengan memanfaatkan pola distribusi yang menggabungkan kekuatan saluran daring seperti marketplace dan saluran luring yang konvensional.

Senada dengan Mendag, Wakil Ketua DPR Rahmat Gobel dalam kesempatan yang sama (15/9) menyampaikan bahwa nilai perdagangan industri biofarmaka global mencapai nilai 138,35 miliar dolar atau setara dengan 2.048 triliun rupiah. Nilai ini diperkirakan akan tumbuh sebanyak 58,25 persen di tahun 2026 dengan proyeksi nilai sebesar 218,94 miliar dolar atau setara 3.245 triliun rupiah. Sementara itu, kuantitas industri biofarmaka Indonesia saat ini masih sebesar 36 triliun rupiah dan dianggap belum berkembang sesuai dengan nilai potensi yang sesungguhnya. Beliau optimis, bahwa industri biofarmaka nasional akan semakin prospektif karena pasar untuk industri ini kian terbuka lebar, sebagai akibat dari pandemi COVID-19 yang belum selesai.

Mengutip dari Kompas, Rahmat Gobel juga menambahkan bahwa Indonesia perlu lebih agresif mengembangkan penelitian terhadap tanaman dan bahan baku herbal, sehingga bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk mengembangkan produknya. Kerjasama antara balai penelitian, pengembangan milik pemerintah, perguruan tinggi, maupun pelaku industri menjadi sangat penting agar nilai tambah sumber daya alam potensi pengelolaan sumber daya alam berbasis herbal dapat dioptimalisasikan.

Pelaku industri jamu yang mayoritas berskala kecil dan menengah juga perlu beradaptasi dengan kebutuhan konsumen dan melakukan proses produksi sesuai dengan standar yang telah diputuskan dalam aturan Persyaratan Teknis Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB) yang dibuat oleh BPOM pada tahun 2011. Aturan ini bertujuan agar industri biofarmaka dapat bersaing hingga kancah internasional. Dengan konsep seperti ini, diharapkan para produsen dapat lebih adaptif di tengah Revolusi Industri 4.0 dengan menciptakan produk herbal yang sehat bagi konsumen. Diharapkan dengan strategi dan potensi ini, Indonesia dapat mengembangkan industri biofarmaka nasional dengan output produk yang sejajar bersama India, Tiongkok, dan Belanda.

Tinggalkan Balasan