Tantangan Pemerataan Pembangunan di 77 Tahun Indonesia Merdeka

Tantangan Pemerataan Pembangunan di 77 Tahun Indonesia Merdeka

            Kastrat HMPL dengan berkat tuhan yang maha esa akhirnya berhasil kembali menggelar NGOPILOGI di Tahun 2022. NGOPILOGI tahun ini dirancang spesial untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia dengan mengangkat tema “Tantangan Pemerataan Pembangunan di 77 Tahun Indonesia Merdeka”. Dengan menghadirkan  Putu Gde Ariastitia S.T., M.T. (Dosen Departemen PWK ITS) dan Alvaryan Maulana (Peneliti Kolektif Agora), NGOPILOGI tahun ini berusaha mengupas bagaimana kemajuan pembangunan di negara Indonesia berikut membongkar segala macam ketimpangannya.

            Sebagai pengantar, tim Kastrat HMPL ITS memberi paparan singkat mengenai isu yang diangkat. Tim HMPL memaparkan, bahwa pulau-pulau di Indonesia mengalami sebuah ketimpangan yang begitu ekstrim. Ketimpangan terjadi pada beberapa hal, misalnya populasi, pendapatan dan infrastruktur. Mayoritas ketiganya menggumpal di pulau jawa, sisanya dibagi rata pada pada pulau-pulau lainnya.

            Pak Putu Gde Ariastita kemudian membahasnya. Pak Aris, sapaan beliau, memaparkan bahwa ketimpangan itu terjadi dalam dua mode, yaitu secara makro, berupa ketimpangan antar pulau, antar kota, atau mungkin antar region, dan secara mikro, yaitu ketimpangan yang terjadi didalam kota itu sendiri. Selain itu, sebenarnya masih ada perbedaan paradigma diantara pemegang kebijakan mengenai fenomena ketimpangan yang terjadi. Satu sisi mengharapkan hadirnya pemerataan sedangkan sebagian sisanya berusaha untuk tetap memelihara ketimpangan tersebut agar arus ekonomi tetap mengalir. Selain itu, pada mulanya, letusan revolusi industri lah  yang menyebabkan aglomerasi, yang mana kebetulan pulau Jawa terpapar paling awal diantara pulau lainnya di Indonesia. Banyak agenda kebijakan yang telah diramu pemerintah untuk menyelesaikan problem ketimpangan di Indonesia, mayoritas diantaranya berusaha untuk membentuk kota menengah, agar arus perpindahan penduduk bisa lebih menyebar merata. Tetapi banyak agenda tersebut pak Aris sebut tinggal menjadi “Macan Kertas” semata. Solusi justru kemudian muncul dari pecahnya era disrupsi yang kemudian memecah paradigma ownership economy dan merubahnya menjadi paradigma sharing economy. Perubahan paradigma itu kemudian yang mampu menstimulasi pemertaan pendapatan dan kesejahteraan di masyarakat.

            Mas Alvaryan Maulana sendiri kemudian memperdalam bahasan lewat bagaimana cara kita mendefinisikan kata “ketimpangan”. Menurut mas Alvaryan, kita masih kebingungan dalam menentukan arti dari ketimpangan. Dari segi share and growth antar wilayah, kita mengalami ketimpangan, dan inilah yang umumnya menjadi tolok ukur utama kita dalam mengukur ketimpangan. Ketimpangan share and growth tersebut timbul bukan karena sebatas keberpihakan pemerintah, melainkan juga ditentukan melalui kapasitas dan kuantitas penduduk pada masing-masing pulau, misalnya dari segi rasio PNS dan Guru pada masing-masing pulau yang timpang ekstrem. Mas Alvaryan juga menambahkan, bahwa Pulau Jawa meskipun secara sekilas terlihat lebih maju dibanding yang lain, sebenarnya juga mengalami ketimpangan juga, khususnya ketimpangan di tingkat Desa. Perencanaan pembangunan bukan hal yang mudah, banyak layer perencanaan yang harus direncanakan. Sehingga bisa jadi, pemerataan tidak akan bisa tercipta bilamana tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk merencanakannya sebaik-baiknya dan mengeksekusinya sebaik mungkin. Terakhir, mas Alvaryan memaparkan bahwa urbanisasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keniscayaan, kita tak ada hak untuk mengelak, hanya ada kesempatan untuk menentukan dimana urbanisasi tersebut akan tumbuh. Dalam proses memeratakan lewat kegiatan meng-urban tersebut, kita perlu dengan jelas untuk menetapkan definisi, linimasa pembangunan dan modal yang kita miliki untuk menyokongnya.

Tinggalkan Balasan