Srawungzkuy 1: Mitigasi Bencana Dalam Perspektif Penataan Ruang

Srawungzkuy 1: Mitigasi Bencana Dalam Perspektif Penataan Ruang

Berawal dari kekhawatiran akan adanya bencana di Indonesia dan adanya pertumbuhan yang cepat, kita selaku para perencana harus dapat mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga, dalam konteks perencanaan dan kota perlu adanya integrasi dengan manajemen risiko bencana. Pengelolaan bencana terdiri dari berbagai aspek keahlian sesuai dengan bencana masing-masing, sedangkan bagi para perencana kota sebagai mediator. 

Bencana dapat membuat sebuah kota hilang dan musnah, seperti di Pompeii dan kota-kota lain. Adanya siklus bencana dapat menyebabkan kemiskinan yang berkelanjutan karena adanya lost yang diperoleh dari dampak bencana. 

Surabaya menarik sebagai objek pembahasan bagi bencana Banjir dan gempa bumi, di mana terdapat 2 caesar yang terletak di darat Surabaya. Selain itu, Surabaya juga diancam dengan 2 potensi gempa bumi yaitu yang berasal dari Jawa Timur dan adanya 2 caesar.

Kejadian gempa dari tahun ke tahun semakin besar dan memiliki dampak yang semakin banyak, sehingga perlu adanya perencanaan yang dapat memitigasi dampak dari bencana tersebut.

Mitigasi bencana dari perspektif SDGs tercerminkan dalam aspek resilience yang juga dilakukan integrasi dengan aspek ekonomi, ekologi, sosial, dan institusi. Perencana turut berperan dalam menyeimbangkan antara aspek-aspek keberlanjutan, di samping adanya peran pemerintah sebagai institusi yang memfasilitasi terwujudnya SDGs. Pentingnya mitigasi bencana dalam konteks SDGS salah satunya agar ketika ada bencana, kota-kota dapat bertahan dan mendapatkan dampak seminimal mungkin dari bencana tersebut.

Mitigasi dan pengendalian bencana dalam konteks Indonesia dilakukan pada jenjang RTRW dan RDTR. Dalam sisi dokumen formal diharapkan sudah sensitif dan mengintegrasikan dengan adanya risiko bencana. Namun, kota-kota di Indonesia belum didesain untuk mempersiapkan ancaman gempa dengan skala besar dan tidak dirancang untuk mengatasinya.

Dalam kaitannya mewujudkan perencanaan yang sensitif terhadap bencana perlu ada beberapa hal yang diperhatikan. Pertama, dari segi proses perlu adanya persiapan, pengumpulan data dan analisa, pelaksanaan, serta membuat konsep dan perencanaan. Adapun mitigasi bencana pada proses ini terletak pada pengumpulan dan proses analisa. Pada pelaksanaan perencanaan, perlu adanya identifikasi kondisi dari wilayah yang direncanakan, termasuk understanding disaster risk, seperti identifikasi adanya banjir, gempa bumi, dan kebakaran yang menjadi siklus bencana di suatu wilayah.

Masing masing daerah harus bisa mempersiapkan rencana dan data-data sektoral. Disaster Data Collection menjadi salah satu hal yang paling penting ketika merencanakan produk perencanaan yang terintegrasi dengan manajemen risiko bencana. Kewajiban koleksi data bencana secara sektoral sudah menjadi kewajiban dan diatur dalam UU. Selembar peta risiko tidaklah cukup dalam mempersiapkan produk perencanaan yang baik. Pengintegrasian manajemen risiko bencana dengan produk perencanaan di Indonesia kebanyakan masih lemah. 

Dalam perencanaannya, perlu adanya approval dari berbagai ahli dan instansi terkait bagi perencanaan untuk mitigasi bencana dengan tujuan untuk mengurangi risiko. Selain itu, perlu adanya proposed action dengan mempertimbangkan kebencanaan yang menjadi sebuah visi, misi, dan tujuan dari perencanaan itu sendiri untuk mengurangi risiko bencana. Terdapat tahapan model proses rendah risiko untuk mencapai target pengurangan risiko kebencanaan. 

Terkait dengan produk, perlu adanya integrasi dengan risiko bencana, seperti tahapan kontrol, perencanaan, pengawasan, dan pengevaluasian. Perlu adanya pertimbangan pusat-pusat perkembangan dengan resiko bencana, sehingga pusat-pusat perkembangan tersebut memiliki tingkat ketahanan yang tinggi. Selain itu, perlu adanya persiapan infrastruktur kedaruratan, seperti jalur evakuasi dan tempat evakuasi. Adapun alokasi ruang, sebisa mungkin diarahkan ke daerah-daerah yang memiliki resiko rendah ataupun kalau terpaksa menggunakan wilayah dengan resiko tinggi maka perlu adanya infrastruktur pendukung dan rekayasa wilayah untuk mengatasi potensi bencana yang ada. Terdapat 2 jenis infrastruktur, yaitu low risk infrastructure (seperti drainase, bozem, dll) dan emergency infrastructure (infrastruktur yang dipersiapkan dalam menghadapi bencana)

Tinggalkan Balasan